BEBERAPA waktu yang lalu, saya pernah menulis hubungan antara sholat yang khusu’ dengan adab dan akhlak kita sewaktu hendak menghadap Allah. Salah satunya, saya mengutip perintah Allah agar kita mengenakan pakaian yang bagus [QS. 7 : 31].
Hal itu kita lakukan sebagai bentuk pantulan kesadaran akan bertemu dan bertamu kepada Allah yang Maha Agung dan Besar. Bentuk kesadaran akan bertemu dan bertamu untuk memohon pertolongan dan ampunan kepada zat yang Maha Penolong lagi Maha Pengampun.
Pada tempat yang sama, saya juga menulis bahwa jauh dari cukup dan sempurna, bila kita cuma mengenakan pakaian yang bagus ketika hendak sholat. Dalam waktu yang bersamaan, kita juga diminta untuk mengenakan pakaian Taqwa. Pakaian yang melindungi dan menghiasi hati dan batin kita. Justru, pakaian taqwa ini adalah sebaik-baik pakaian [QS. 7 : 26].
Kanjeng Sunan Kalijaga, menafsirkan atau lebih tepatnya menurunkan makna Surah Al A’raf ayat 26 di atas, dalam bentuk karya berupa pakaian yang beliau namakan Surjan [diambil dari bahasa Arab yang berarti pepadhang atau penerang. Menerangi pemakainya maupun orang yang ada di sekitarnya]. Biasa juga disebut pakaian takwa. Karena, dalam beragam detailnya, secara simbolik memuat substansi dari makna takwa.
Salah satu bagian dari kelengkapan pakaian takwa adalah keris, yang disisipkan di bagian belakang badan. Dalam bahasa Jawa, keris disebut dhuwung atau curigo, yang dapat berarti hati-hati atau waspada. Hal ini mengingatkan kita pada dialog dan percakapan antara Umar bin Khattab RA dengan Ubay bin Ka’ab RA berkenaan dengan takwa.
Umar bertanya : “Wahai Ubay, apa makna takwa?” Alih-alih menjawab, justru Ubay balik bertanya : “Wahai Umar, pernahkah engkau berjalan melewati jalan yang penuh duri?” Umar menjawab : “Tentu pernah.” “Apa yang engkau lakukan saat itu?” Lanjut Ubay bertanya. “Tentu saja, aku akan berjalan dengan berhati-hati,” jawab Umar. Ubay lantas berkata, “Itulah hakekat takwa.”
Salam teduh,
Kang Jarwo