JOGJA – Sejak diberlakukannya relokasi para pedagang kaki lima (PKL) di sepanjang Jalan Malioboro pada awal Februari 2022, Pemerintah DIY bersama Pemerintah Kota (Pemkot) Jogjakarta dan para pemilik toko, terus menata dan mempersolek wajah pusat wisata paling ramai di kota Jogja itu.
Upaya tersebut dilakukan untuk menjadikan Malioboro semakin kuat sebagai magnet wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri. Selain itu sebagai wujud penerapan “sumbu filosofi” dari Kraton Jogja hingga Gunung Merapi.
Dari pantauan IniJogja, Sabtu (19/2/2022), sejumlah toko di Malioboro terlihat sedang ada perbaikan seperti pengecetan dan penataan kabel-kabel yang selama ini mengganggu pemandangan. Pastinya wajah kawasan Malioboro memanh ditata secara perlahan.
Saat ini pemilik toko sudah mulai berupaya memperindah bangunannya. Hal ini terkait dengan imbauan dari pengurus Perkumpulan Pengusaha Malioboro dan Ahmad Yani (PPMAY) untuk mengecat pilar dan tembok tokonya.
Upaya mempercantik toko tersebut tanggapan dari rencana Pemda DIY dan Pemkot Jogja yang ingin menata kawasan Malioboro. Beberapa bangunan akan dibuat dengan konsep dari masa ke masa.
Sejumlah tokoh tampak sudah ada yang dicat ulang pilar-pilar lorong depan toko yang warnanya diseragamkan berwarna putih. Ke depannya akan ada penataan fasad toko agar memiliki kesan seperti zaman dahulu. Penataan ini utamanya bagi toko yang menempati bangunan cagar budaya.
Wakil Wali Kota Jogja, Heroe Poerwadi mengatakan penataan Malioboro setelah relokasi PKL akan mencerminkan Malioboro dari masa ke masa. Nantinya wisatawan dan masyarakat yang berkunjung bisa memahami perubahan dan perkembangan yang ada di Malioboro.
Penataan ini termasuk bagian fasad. “Sudah ada aturan ukuran maksimal papan nama yang bisa dipasang yaitu 1×1,5 meter persegi. Jika masih ada yang memasang dengan luasan lebih besar dari ukuran maksimal, maka akan diminta untuk menyesuaikan,” kata Heroe.
Heroe berharap penataan fasad bangunan toko akan memberikan kesan terhadap kawasan yang lebih baik. Selain itu juga bisa mengembalikan citra Malioboro yang sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya.
Malioboro pada masa 1970 hingga 1990-an merupakan pusat perekonomian, pusat oleh-oleh serta pusat seni dan budaya yang melahirkan banyak seniman dan budayawan. (Chaidir)