Jumat, November 8
About

MENGENANG WAFATNYA UMMUL MU’MININ, KHODIJAH

Pinterest LinkedIn Tumblr +

Oleh : Imam Muharror

11 Ramadhan adalah Wafat Sayyidah Khodijah Al Kubro binti Khuwailid. Yang dimakamkan di Ma’la, Makkah al Mukaromah.

Beliaulah pemilik hati Rasulullah saw. Istri setia yang mengabdikan sisa hidupnya untuk perjuangan penyiaran Islam Rasulullah saw. Dialah Ummul Mu’minin Sayyidah Khodijah, ibu seluruh kaum mu’minin dan mu’minat.

Sayyidah Khodijah istri pertama Rasulullah ﷺ, yang menikah bukan untuk hidup bahagia, tapi membahagiakan orang lain suami beserta ummatnya.

Dua per tiga (2/3) wilayah Makkah adalah miliknya, seorang putri bangsawan yang menyandang kemuliaan dan kelimpahan harta kekayaan.

Namun ketika wafat, tak selembar kafan pun ia miliki. Bahkan baju yang dikenakan saat ajal tiba hanya sehelai baju usang dengan 83 tambalan.

“Fatimah putriku, aku yakin ajalku segera tiba,” bisik Khadijah kepada putrinya Fatimah sesaat menjelang ajal.  “Yang kutakutkan adalah siksa kubur. Tolong mintakan kepada ayahmu, agar beliau memberikan sorbannya yang biasa digunakan menerima wahyu untuk kain kafanku. Aku malu dan takut memintanya sendiri.”

Mendengar itu Rasulullah berkata, “Wahai Khodijah, Allah menitipkan salam kepadamu, dan telah dipersiapkan tempatmu di syurga.”

Khodijah, Ummul Mu’minin pun kemudian menghembuskan nafas terakhir dipangkuan Rasulullah SAW. Didekapnya sang istri dengan perasaan pilu, hingga tumpahlah air mata beliau dan semua orang yang ada di sekeliling.

Dalam suasana duka, Jibril turun, sembari mengucap salam, membawakan lima kain kafan.

Rasulullah kemudian bertanya, “Untuk siapa sajakah kain kafan itu, ya Jibril?”
“Kafan ini untuk Khadijah, untuk engkau ya Rasulullah, untuk Fatimah, Ali dan Hasan,” jawab Jibril yang tiba-tiba berhenti berkata, kemudian menangis.

Rasulullah bertanya, “Kenapa, ya Jibril?”
“Cucumu yang satu, Husain, tidak memiliki kafan. Dia akan dibantai, jatuh wafat tanpa kafan dan tak dimandikan,” jawab Jibril.

Rasulullah berkata di dekat jasad Khodijah, “Wahai Khodijah istriku sayang, demi Allah, aku tak kan pernah mendapatkan istri sepertimu. Pengabdianmu kepada Islam dan diriku sungguh luar biasa. Allah Maha mengetahui semua amalmu. Semua hartamu kau hibahkan untuk Islam. Kaum Muslimin pun ikut menikmatinya. Semua pakaian kaum Muslimin dan pakaianku ini juga darimu. Namun begitu, mengapa permohonan terakhirmu kepadaku hanyalah selembar sorban!?”

Tersedu Rasulullah mengenang istrinya semasa hidup Khodijah.

Dikisahkan, suatu hari, ketika Rasulullah pulang dari berdakwah, beliau masuk ke dalam rumah. Khodijah menyambut, dan hendak berdiri di depan pintu, kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Khodijah, tetaplah kamu di tempatmu.”

Ketika itu Khodijah sedang menyusui Fatimah yang masih bayi. Saat itu seluruh kekayaan mereka telah habis. Seringkali makanan pun tak punya, sehingga ketika Fatimah menyusu, bukan air susu yang keluar akan tetapi darah. Darahlah yang masuk dalam mulut Fatimah RA.

Kemudian Rasulullah mengambil Fatimah dari gendongan istrinya, dan diletakkan di tempat tidur. Rasulullah yang lelah sepulang berdakwah dan menghadapi segala caci-maki serta fitnah kaum jahiliyah Makkah, lalu berbaring di pangkuan Khodijah hingga tertidur.

Ketika itulah Khodijah membelai kepala Rasulullah dengan penuh kelembutan dan rasa sayang. Tak terasa air mata Khodijah menetes di pipi Rasulullah hingga membuat beliau terbangun.

“Wahai Khadijah, mengapa engkau menangis? Adakah engkau menyesal bersuamikan aku?” tanya Rasulullah dengan lembut.

Dahulu engkau wanita bangsawan, engkau mulia, engkau hartawan. Namun hari ini engkau telah dihina orang. Semua orang telah menjauhi dirimu. Seluruh kekayaanmu habis. Adakah engkau menyesal, wahai Khadijah, bersuamikan aku ?” lanjut Rasulullah tak kuasa melihat istrinya menangis.

“Wahai suamiku, wahai Nabi Allah. Bukan itu yang kutangiskan,”  jawab Khadijah.

“Dahulu aku memiliki kemulia’an, semua itu telah aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Dahulu aku adalah bangsawan, semuanya juga aku relakan untuk Allah dan Rasu-lNya. Dahulu aku memiliki harta kekaya’an, Seluruh kekaya’an itupun telah aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya.”

“Wahai Rasulullah, sekarang aku tak punya apa-apa lagi. Tetapi engkau masih terus memperjuangkan agama Allah. Ya Rasulullah, sekiranya nanti aku mati sedangkan perjuanganmu belum selesai, ketika engkau hendak menyeberangi sebuah lautan, tatkala engkau hendak menyeberangi sungai namun engkau tidak memperoleh rakit atau pun jembatan, maka galilah lubang kuburku, ambillah tulang-belulangku, jadikanlah sebagai jembatan bagimu untuk menyeberangi sungai itu, agar engkau bisa berjumpa dengan manusia dan melanjutkan dakwahmu.”_

“Ingatkan mereka tentang kebesaran Allah, ingatkan mereka kepada yang hak, ajak mereka kepada Islam, wahai Rasulullah.”

Rasulullah pun tampak sedih.
“Oh Khadijahku sayang, kau meninggalkanku sendirian dalam perjuanganku. Siapa lagi yang akan membantuku?”

“Aku, ya Rasulullah!” sahut Ali bin Abi Thalib menantu Rasullulah.

Di samping jasad Siti Khodijah, Rasulullah kemudian berdo’a kepada Allah.

“Ya Allah, ya ILahi Rabbiy, limpahkanlah rahmat-Mu kepada istriku Khodijah, yang selalu membantuku dalam menegakkan Islam, yang tetap setia pada sa’at orang lain menentangku, membahagiakanku saat orang lain menyakitiku, menenteramkanku pada sa’at orang lain membuatku gelisah.”

Khadijah adalah salah satu sosok dibalik missi kerasulan Muhammad saw. Figur istri yang setia dan mempertaruhkan segalanya untuk kepentingan penyiaran Islam yang tak mungkin kita lupakan.

Untuk nya mari kita berdoa dan memohon, agar kelak kita disandingkan saat hari kebangkitan di surga, bersama ibu tercinta kekasih Rasulullah yang tiada bandingnya.

Semoga bermanfa’at

Share.

About Author

Leave A Reply