Oleh : Chaidir
(Forum Jurnalis NU)
INI JOGJA – Kisruh internal yang melanda Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam tiga hari terakhir seolah menjadi cermin bahwa bahkan organisasi sebesar NU pun tak kebal terhadap dinamika politik dan tafsir kewenangan. Beredarnya risalah Rapat Harian Syuriyah PBNU yang memuat keputusan untuk memberhentikan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menjadi titik api yang segera merembet menjadi perbincangan publik, khususnya di kalangan Nahdliyin yang selama ini menggantungkan harapan besar pada soliditas jam’iyah.
Kegaduhan ini memunculkan satu pertanyaan mendasar: Bagaimana mungkin jam’iyah sebesar NU, dengan tradisi musyawarah dan adab keulamaan yang kokoh, tiba-tiba diseret ke dalam pusaran konflik yang begitu terbuka, bising, dan sarat tafsir politik?
Bukan Sekadar Administrasi, Tetapi Soal Proses dan Adab Organisasi
Secara garis besar, terdapat tiga hal besar yang menjadi alasan Syuriyah dalam risalah rapatnya:
- Undangan narasumber yang dinilai terkait jaringan Zionisme Internasional dalam AKN NU,
- Tuduhan pelanggaran terkait tata kelola keuangan, dan
- Evaluasi menyeluruh terhadap kepemimpinan Tanfidziyah.
Namun problem utama sebenarnya bukan semata isi tuduhan, melainkan proses pengambilan keputusan yang dipandang sepihak oleh Ketua Umum PBNU, tanpa adanya kesempatan klarifikasi yang layak dan terbuka. Inilah titik yang kemudian memicu reaksi keras dari PWNU dan PCNU seluruh Indonesia—yang merasa tak dilibatkan dan terancam akan muncul preseden buruk bahwa seorang ketua dapat diberhentikan mendadak tanpa mekanisme musyawarah yang inklusif.
Kegelisahan para ketua wilayah bukan sekadar soal posisi Gus Yahya, tetapi kekhawatiran bahwa model pemakzulan seperti ini menjadi “virus organisasi”, memicu pemberhentian sepihak di berbagai tingkatan—dari wilayah hingga cabang. Dalam bahasa para kiai, ini adalah masalah marwah jam’iyah.
Dengan kata lain, kisruh ini adalah persilangan antara problem prosedural, komunikasi yang macet, dan kurangnya ruang tabayyun.
Retaknya Kepercayaan dan Luka Kolektif Nahdliyin
NU bukan sekadar organisasi; ia adalah rumah besar yang dibangun dari jejaring kiai kampung, pesantren, dan jutaan jamaah. Ketika konflik terbuka terjadi, luka yang muncul tidak hanya ada pada para elit di Jakarta, tetapi meluas hingga ke akar rumput.
Tak sedikit PWNU yang bersuara lirih, namun pedih: “Kami sedang menata hubungan dengan berbagai pihak. Tapi kini kami malu. Mengapa NU menjadi begini?”
Kekecewaan moral ini jauh lebih berbahaya daripada sekadar silang pendapat. Jika tak dikelola dengan baik, ia akan menurunkan legitimasi moral organisasi di mata jamaahnya sendiri, yang selama ini memercayakan NU sebagai jangkar ketenangan umat.
Solusi: Jalan Rekonsiliasi, Bukan Polarisasi
Persoalan PBNU saat ini tidak boleh diselesaikan dengan mencari siapa yang salah, tetapi bagaimana kita kembali ke adab organisasi dan ruh keulamaan yang selama ini menjadi fondasi NU. Ada beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh:
- Membentuk Majelis Rekonsiliasi PBNU yang Berisi Mustasyar
Saran PWNU Jawa Barat sangat tepat: Mustasyar PBNU adalah sosok-sosok yang secara moral berada di atas kontestasi. Mereka tidak berkepentingan dengan jabatan. Majelis ini dapat menjadi mediator, pengarah tabayyun, dan penengah antara Syuriyah dan Tanfidziyah.
- Melakukan Tabayyun Terbuka antara Rais Aam, Wakil Rais Aam, dan Ketua Umum
Bukan di publik, bukan di media sosial, tetapi dalam forum resmi yang dihadiri: Syuriyah, Tanfidziyah, Mustasyar, Perwakilan PWNU.
Tabayyun ini harus memeriksa tuduhan, klarifikasi, dan bukti secara objektif dan syar’i sebelum menjatuhkan keputusan apa pun.
- Mencegah Preseden Pemberhentian Sepihak
Perlu ditegaskan kembali bahwa NU bukan organisasi yang dikelola dengan logika “atasan-menghukum-bawahan”. NU dikelola dengan tradisi musyawarah dan syura. Amat berbahaya jika NU ke depan dipimpin melalui model “pemakzulan kilat”. Karena itu, perlu pembaruan SOP penyelesaian konflik, terutama terkait proses klarifikasi dan standar pembuktian.
- Menjaga Jamaah agar Tidak Terseret Perpecahan
Syuriyah dan Tanfidziyah harus bersuara satu pesan: “Tidak ada kubu di NU. Yang ada hanya saf perjuangan.” Jika para kiai mencegah umat mempertajam perbedaan, maka polarisasi dapat diredam.
- Menjaga Ruang Publik dari Narasi yang Memecah Belah
Kedua kubu harus sepakat untuk: Tidak mengeluarkan pernyataan di media sosial yang dapat memantik salah paham, Menghindari kebocoran dokumen internal, Mengelola pernyataan resmi hanya melalui juru bicara yang disepakati.
Kisruh ini seharusnya cukup berhenti di meja Syuriyah dan Tanfidziyah, bukan berlanjut menjadi tontonan publik yang menjatuhkan marwah kiai.
NU Harus Kembali Menjadi Rumah Teduh
Kegaduhan ini adalah ujian. Namun NU sudah ratusan kali menghadapi badai sejarah—dari gesekan politik, tekanan rezim, hingga dinamika internal. NU selalu selamat karena para kiai memilih jalan adab, bukan ambisi. Kini, para pengurus PBNU harus kembali kepada warisan itu: keteduhan, kesabaran, musyawarah, dan tabayyun yang jernih.
Karena pada akhirnya, yang harus diperjuangkan bukan posisi siapa pun, tetapi keutuhan jam’iyah dan harapan jutaan Nahdliyin yang ingin melihat NU tetap menjadi mata air kesejukan bagi Indonesia. ***

