INIJOGJA.NET – Para wisatawan yang kembali datang ke kawasan Malioboro, pasti akan merasakan ada sesuatu yang berbeda.
Ketika berada di Malioboro akan sangat terasa perbedaannya. Kini di Malioboro sudah tidak terlihat lagi pedagang kaki lima (PKL) di sepanjang bagian barat maupun timur toko-toko yang ada.
Para PKL itu sudah direlokasi di tempat khusus yaitu Teras Malioboro 1 (seberang Pasar Beringharjo) dan Teras Malioboro 2 (selatan Hotel Inna Garuda).
Perbedaan lain yaitu tampilan wajah depan atau fasad toko-toko sudah dicat berwarna putih. Salah satunya bangunan cagar budaya Pasar Beringharjo.
Perubahan fasad kawasan Malioboro adalah kebijakan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kebijakan itu menjadi salah satu upaya penataan di kawasan sumbu filosofis.
Untuk itu Pemda DIY meminta pemilik toko di kawasan Malioboro agar mengecat ulang toko mereka dengan warna putih tulang.
Sejarah Pasar Beringharjo
Pasar Beringharjo merupakan pasar legendaris, tertua, dan terbesar di DIY. Pasat ini memiliki sejarah sehingga Pemerintah mencatat sebagai cagar budaya yang harus dilindungi dan dirawat.
Dulunya wilayah Pasar Beringharjo adalah hutan beringin. Tidak lama setelah berdirinya Kraton Yogyakarta pada tahun 1758, wilayah pasar ini dijadikan tempat transaksi ekonomi oleh warga Yogyakarta dan sekitarnya.
Ratusan tahun kemudian pada tanggal 24 Maret 1923, Kraton Yogyakarta menugaskan Nederlansch Indisch Beton Maatschappij (Perusahaan Beton Hindia Belanda) dari Surabaya untuk membangun los-los pasar.
Pembangunan pasar dimulai dari barat berupa kantor dan kios-kios. Pada akhir Agustus 1925, 11 kios telah terselesaikan dan yang lainnya menyusul secara bertahap.
Nama Beringharjo diberikan setelah bertahtanya Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada tanggal 24 Maret 1925. Sri Sultan Hamngku Buwono VIII memerintahkan agar semua instansi di bawah naungan Kesultanan Yogyakarta menggunakan Bahasa Jawa.
Nama Beringharjo dipilih karena memiliki arti wilayah yang semula hutan beringin (bering) yang diharapkan dapat memberikan kesejahteraan (harjo).
Nama Beringharjo dinilai tepat karena lokasi pasar merupakan bekas hutan beringin dan pohon beringin merupakan lambang kebesaran dan pengayoman bagi banyak orang.
Pasar Beringharjo memiliki nilai historis dan filosofis dengan Kraton Yogyakarta karena telah melewati tiga fase, yakni masa kerajaan, penjajahan, dan kemerdekaan.
Pembangunan Pasar Beringharjo merupakan salah satu bagian dari rancang bangun pola tata kota Kesultanan Yogyakarta yang disebut Catur Tunggal.
Pola tata kota ini mencakup empat hal yakni keraton sebagai pusat pemerintahan, alun-alun sebagai ruang publik, masjid sebagai tempat ibadah, dan pasar sebagai pusat transaksi ekonomi. ***