INIJOGJA.NET – Indonesia adalah negeri budaya, negeri pemilik adat istiadat yang sangat beragam, dan surga dunia wisata. Negeri dengan penganut agama dan kepercayaan yang lengkap.
Tak heran jika suatu kegiatan adat, tradisi atau budaya banyak terdapat juga nilai-nilai keagamaan di dalamnya.
Inilah Indonesia. Negeri yang sangat menarik, menawas dan unik dengan pesona keberagamannya.
Salah satu kegiatan budaya masyarakat yang menjadi daya tarik luar biasa adalah Festival Tabuik.
Festival Tabuik adalah tradisi tahunan di dalam masyarakat Pariaman, Sumatera Barat. Festival ini telah berlangsung sejak puluhan tahun lalu dalam arti kata dilembagakan oleh Pemerintah dan telah menjadi ajang festival wisata.
Kegiatan Festival Tabuik yang puncaknya rutin diadakan setiap 10 Muharram atau Asyura, sebagai puncak acaranya, selalu dipenuhi oleh ratusan rabu masyarakat dari berbagai penjuru Sumatera Utara.
Dari sisi sejarah tradisi tabuik diperkirakan telah ada sejak abad ke-19 masehi. Perhelatan tabuik merupakan bagian dari peringatan hari wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Husein bin Ali yang jatuh pada tanggal 10 Muharram. Sejarah mencatat, Husein beserta keluarganya wafat dalam perang di padang Karbala, Irak.
Peringatan wafatnya Husein bin Ali oleh masyarakat Pariaman, berbeda dengan kaum Syiah yang juga rutin setiap 10 Muharram memperingati hal yang sama.
Tabuik diambil dari bahasa arab ‘tabut’ yang bermakna peti kayu. Nama tersebut mengacu pada legenda tentang kemunculan makhluk berwujud kuda bersayap dan berkepala manusia yang disebut Buraq.
Legenda tersebut mengisahkan bahwa setelah wafatnya sang cucu Nabi, kotak kayu berisi potongan jenazah Hussein diterbangkan ke langit oleh Buraq. Berdasarkan legenda inilah, setiap tahun masyarakat Pariaman membuat tiruan dari Buraq yang sedang mengusung tabut di punggungnya.
Menurut kisah yang diterima masyarakat secara turun temurun, ritual ini diperkirakan muncul di Pariaman sekitar tahun 1826-1828 Masehi. Tabuik pada masa itu masih kental dengan pengaruh dari timur tengah yang dibawa oleh masyarakat keturunan India penganut Syiah.
Pada tahun 1910, muncul kesepakatan antar nagari untuk menyesuaikan perayaan tabuik dengan adat istiadat Minangkabau, sehingga berkembang menjadi seperti yang ada saat ini.
Tabuik ada dua macam, yaitu Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Keduanya berasal dari dua wilayah berbeda di Kota Pariaman. Tabuik Pasa (pasar) merupakan wilayah yang berada di sisi selatan dari sungai yang membelah kota tersebut hingga ke tepian Pantai Gandoriah. Wilayah Pasa dianggap sebagai daerah asal muasal tradisi tabuik.
Adapun Tabuik Subarang berasal dari daerah Subarang (seberang), yaitu wilayah di sisi utara dari sungai atau daerah yang disebut sebagai Kampung Jawa.
Awalnya, tabuik memang hanya ada satu, yaitu Tabuik Pasa. Sekitar tahun 1915, atas permintaan segolongan masyarakat, dibuat sebuah tabuik yang lain. Atas kesepakatan para tetua nagari, tabuik ini harus dibuat di daerah seberang Sungai Pariaman.
Karenanya, tabuik yang kedua ini diberi nama Tabuik Subarang. Salah satu riwayat sesepuh masyarakat mencatat kejadian tersebut diperkirakan terjadi tahun 1916, tetapi ada pula riwayat yang menyebutkan tahun 1930. Pembuatan Tabuik Subarang tersebut tetap mengikuti tata cara yang sebelumnya telah berlaku di wilayah Pasa.
Mulai tahun 1982, perayaan tabuik dijadikan bagian dari kalender pariwisata Kabupaten Padang Pariaman. Karena itu terjadi berbagai penyesuaian salah satunya dalam hal waktu pelaksanaan acara puncak dari rangkaian ritual tabuik ini. Jadi, meskipun prosesi ritual awal tabuik tetap dimulai pada tanggal 1 Muharram, saat perayaan Tahun Baru Islam, tetapi pelaksanaan acara puncak dari tahun ke tahun berubah-ubah, tidak lagi harus pada tanggal 10 Muharram atau Asyura.
Rangkaian tradisi tabuik di Pariaman terdiri dari tujuh tahapan ritual tabuik, yaitu mengambil tanah, menebang batang pisang, mataam, mengarak jari-jari, mengarak sorban, tabuik naik pangkek, hoyak tabuik, dan membuang tabuik ke laut.
Prosesi mengambil tanah dilaksanakan pada 1 Muharram. Menebang batang pisang dilaksanakan pada hari ke-5 Muharram. Mataam pada hari ke-7, dilanjutkan dengan mangarak jari-jari pada malam harinya. Pada keesokan harinya dilangsungkan ritual mangarak saroban.
Pada hari puncak, dilakukan ritual Tabuik naik pangkek, kemudian dilanjutkan dengan hoyak tabuik. Hari puncak ini dahulu jatuh pada tanggal 10 Muharram, tetapi saat ini setiap tahunnya berubah-ubah antara 10-15 Muharram, biasanya disesuaikan dengan akhir pekan. Sebagai ritual penutup, menjelang maghrib tabuik diarak menuju pantai dan dilarung ke laut.
Setiap tahunnya puncak acara tabuik selalu disaksikan puluhan ribu bahkan ratusan ribu pengunjung yang datang dari berbagai pelosok Sumatera Barat. Tidak hanya masyarakat lokal saja, festival ini pun mendapat perhatian dari banyak turis asing yang membuatnya menjadi perhelatan besar yang ditunggu-tunggu setiap tahunnya.
Pantai Gandoriah yang menjadi titik pusat perhatian seakan menjadi lautan manusia, khususnya menjelang prosesi tabuik diarak menuju pantai. Karenanya, jika ada kesempatan, tidak ada salahnya jika festival tabuik ini menjadi alternatif agenda wisata Anda di tahun yang akan datang. (Chaidir)