INI JOGJA, Yogya – Suhu panas menyengat yang belakangan ini dirasakan di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Warga pun mengeluhkan kondisi ini dan dikhawatirkan berlangsung hingga bulan Ramadhan nanti.
Sementara terjadinya erupsi Gunung Merapi pada 11 Maret 2023 lalu, masyarakat menduga, menjadi penyebab meningkatnya suhu udara panas.
Benarkah erupsi Gunung Merapi yang menyemburkan awan panas menjadi penyebab dari panasnya suhu Kota Yogyakarta dan sekitarnya ? Berikut penjelasan pakar iklim dan geofisika.
Baca Juga : Waspada, Penipu Catut Nama Kemenkes di Update SATUSEHAT Mobile
Menurut pakar iklim dan bencana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Emilya Nurjani SSi MSi, bahwa erupsi Gunung Merapi bukan penyebab meningkatnya suhu panas dan bukan hal yang memengaruhi cuaca di DIY.
Ia menegaskan bahwa suhu udara yang beberapa hari terakhir begitu panas sama sekali tidak ada kaitannya dengan erupsi Gunung Merapi.
“Kenaikan suhu di wilayah Yogya ini bukan karena erupsi Merapi, tetap lebih karena fenomena urban heat island yang umum terjadi di wilayah perkotaan,” kata Emilya kepada wartawan saat menyampaikan paparan tentang Bencana Hidrometerologi dan Perubahan Iklim.
Baca Juga : Bantul Bersiap Menjadi Kota Kreatif Dunia
Emilya mengatakan bahwa guguran awan panas memang muncul hingga radius 7 Km. Namun, ketinggian Gunung Merapi yang mencapai 2.900 Mdpl menyebabkan awan panas terbawa angin kencang dan berubah menjadi debu vulkanik tidak meningkatkan suhu secara signifikan.
“Proses erupsi Merapi tidak memengaruhi suhu. Namun, aerosol yang dihasilkan mungkin akan berpengaruh dalam menaikan maupun mengurangi suhu, tergantung angin,” ujar Dosen Departemen Geografi Lingkungan Fakultas Geografi UGM ini
Erupsi Merapi diakui sempat meningkatkan suhu di tingkat lokal kawasan Gunung Merapi dalam waktu yang tidak begitu lama. Kenaikan suhu terjadi tidak lebih dari 1-2 jam sehingga tidak banyak memengaruhi suhu udara di DIY dan sekitarnya.
Baca Juga : Kalbe Farma Bantu Warga Desa Boto Wonogiri Dapatkan Akses Air Bersih
“Debu vulkanik dari erupsi Merapi menutupi radiasi ke bumi sehingga panas yang akan dilepaskan ke atmosfer terganggu. Kondisi itu menyebabkan peningkatan suhu, tetapi tidak lama hanya 1-2 jam dan sangat lokal,” tambahnya.
Kenaikan suhu yang terjadi sekitar 1- 2 jam saat erupsi pada Sabtu lalu dikatakan Emilya tidak meningkatkan potensi hujan di Yogyakarta. Guguran awan panas yang menuju arah barat tidak meningkatkan aerosol yang menjadi inti kondensasi awan sehingga tidak menyebabkan hujan di Yogyakarta.
Emilya menjelaskan minimnya dampak peningkatan suhu akibat erupsi Gunung Merapi, salah satunya dikarenakan Indonesia sebagai negara tropis dengan lapisan troposfer atau lapisan terendah atmosfer dengan ketebalan 18 Km. Hal ini menjadikan debu vulkanik di lapisan troposfer dapat langsung dilepaskan karena tidak masuk ke lapisan stratosfer atau lapisan kedua atmosfer bumi.
Baca Juga : JNE Yogyakarta Berikan Bantuan untuk Masjid dan Dhuafa
Kondisi berbeda terjadi di negara-negara kawasan Eropa yang hanya memiliki lapisan troposfer hanya 6 Km. Tipisnya lapisan troposfer menyebabkan debu vulkanik yang dihasilkan erupsi gunung di wilayah Eropa tidak hanya masuk ke lapisan troposfer namun hingga lapisan stratosfer.
Emilya mencontohkan saat erupsi Gunung Eyjafjallajoekull pada tahun 2010 silam. Debu vulkanik dari erupsi tersebut masuk hingga lapisan stratosfer yang berdampak pada iklim di kawasan Eropa.
“Debu vulkanik erupsi masuk sampai lapisan stratosfer dan terjerat disana. Dampaknya masih tersa sampai sekarang dimana musim dingin di Eropa lebih parah, begitupun saat musim panas menjadi sangat panas karena masih ada debu vulkanik di stratosfer. Kondisi ini berbeda dengan erupsi Merapi di tahun yang sama,” urainya.
Baca Juga : Jangan Sembarangan Pilih Inverter Jika Pasang PLTS. Simak Penjelasannya
Sementara Kepala Kelompok Foreskater
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) DIY, Romadi, mengatakan panas menyengat beberapa hari ini tidak ada kaitannya dengan erupsi Gunung Merapi.
Menurutnya, cuaca terik dipengaruhi oleh kelembaban perlapisan 700 milibar sampai dengan 500 milibar. Ini sangat kering hingga mencapai 30 persen, sehingga sinar Matahari langsung menembus permukaan Bumi. Sampai di permukaan Bumi, sinar Matahari kembali dipantulkan kembali ke atmosfer.
Dia menjelaskan berkurangnya intensitas hujan beberapa hari ke belakang di Jogja dan sekitarnya di DIY salah satunya karena adanya pola tekanan rendah di utara Papua. Ini menyebabkan pola konvergensi bergeser ke perairan utara Jawa, sehingga mengurangi massa uap air hujan di wilayah DIY.
Baca Juga : Deep Purple World Tour 2023, Sudah Tak Sabar Ingin Manggung di Solo
“Untuk wilayah DIY potensi hujan akan kembali terjadi setelah tanggal 15 [Maret] dengan intensitas ringan hingga sedang,” ujarnya, Senin lalu (13/3/2023). ***